Minggu, 11 Desember 2016

Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran Dalam Islam

Bacaan Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran Dalam Islam merupakan salah satu jenis doa yang isinya berkaitan dengan permohonan agar hati menjadi tenang dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan.
– Hati adalah salah satu hal yang menjadi bagian dari diri kita selaku manusia. Sebagaimana yang kita ketahui, hati sangat mudah berubah, tergantung dari apa yang kita lakukan atau dialami. Jika bicara tentang hati, maka kita sebenarnya juga membicarakan perihal perasaan dan rasa. Perasaan adalah suatu hal yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya, selain akal tentunya. Begitupun dengan rasa itu sendiri. Terkait dengan hati ini ada satu hal menarik yang dapat Anda pelajari melalui apa yang ada di dalam artikel ini, yaitu doa ketenangan hati dan pikiran yang banyak dicari oleh banyak orang untuk diamalkan setiap hari.
Salah satu hal yang menjadi penyebab seseorang mencari doa ketenangan hati dalam Islam adalah karena ia sedang ditimpa masalah yang membuat hatinya merasa tidak tenang. Hal itu bisa diakibatkan oleh beragam faktor. Diantaranya adalah masalah pribadi, keluarga, asmara bahkan dari pekerjaan. Contohnya seperti beban hutang yang Anda miliki, keluarga yang tidak harmonis dan sedang bersitegang, ketidakpercayaan teman terhadap diri Anda, kehidupan percintaan yang tidak berjalan dengan mulus atau beban pekerjaan dan tuntutan dari atasan. Semua hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa dialami oleh semua orang. Sehingga untuk mengembalikan suasana hati agar tidak gundah gulana, doa terutama Doa Orang Teraniaya adalah suatu hal yang cukup mujarab.
Doa adalah satu diantara cara manusia untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan kita semua yakni Allah SWT. Sebagai seorang muslim ta’at, kita semestinya selalu berupaya untuk meningkatkan keimanan. Karena obat untuk hati yang sedang mengalami banyak masalah adalah jiwa yang bersih. Untuk mendapatkan jiwa yang bersih tentu perlu disokong dengan spiritualitas jiwa yang baik. Dengan demikian, maka Anda akan menjadi manusia yang siap menghadapi segala macam permasalahan hidup yang mungkin saja menimpa Anda sewaktu-waktu tanpa bisa disangka. Sehingga hati yang tenang akan bisa Anda dapatkan dengan jalan sebagaimana seharusnya.
Berikut ini kami sudah menyiapkan beberapa Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran Dalam Islam yang sangat ampuh untuk mengobati hati yang sedang dilanda duka dan nestapa. Di dalam artikel ini kami siapkan sejumlah contoh doa ketenangan pikiran yang biasa diucapkan oleh banyak orang untuk menguatkan hati.
1. Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran yang pertama adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ نَفْسًا بِكَ مُطْمَئِنَّةً، تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ، وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ، وَتَقْنَعُ بِعَطَائِكَ
Allohumma Inni As Aluka Nafsaan Bika Muthma-Innah, Tu’minu Biliqoo-Ika Watardhoo Bi Qodhooika Wataqna’u Bi’athooika
Terjemahan dari doa ini yakni:
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridha dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu.
2. Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran yang kedua.
Selanjutnya adalah doa yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada umatnya untuk dibaca demi mendapatkan ketenangan hati yang didambakan oleh semua orang. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan kalau Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam bersabda yang bunyinya sebagai berikut: “apabila seorang hamba ditimpa kegelisahan atau kesedihan, lalu ia berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
Allaahumma Innii ‘Abduka, Wabnu ‘Abdika, Wabnu Amatika, Naashiyatii Biyadika, Maadhin Fiyya Hukmuka, ‘Adlun Fiyya Qodhoo-Uka, As-Aluka Bikullismin Huwalaka, Sammayta Bihi Nafsaka, Aw Anzaltahu Fii Kitaabika, Aw ‘Allamtahu Ahadan Min Kholqika, Awis Ta’ Tsar Ta Bihi Fii ‘Ilmil Ghoibi ‘Indaka, An Taj’alal Qur-Aana Robbii’a Qolbii, Wa Nuuro Shodrii, Wa Jalaa-A Huznii, Wa Dzahaaba Hammii.
Niscaya Allah akan menghilangkan kecemasan dan kesedihannya, kemudian Dia akan menggantikan semua itu dengan kegembiraan”. Setelah itu, para sahabat yang ada saat itu bertanya, “Ya Rasulullah, bolehkah kami menghafal atau mempelajar kalimat-kalimat tersebut?”. Rasulullah pun mengiyakan jawabannya, “Ya, hendaknya siapa saja yang mendengarnya mempelajarinya” (Riwayat Ahmad1/391, Ibnu Hibban, Abu Ya’la, al-Hakim, dll), sanad shahih menurut pendapat Al-Albani.
Agar lebih memahami, berikut adalah inti dari doa yang tertulis di atas:
“Seorang hamba Allah dari keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa hendaknya beroda kepada Allah. Sebab semua kehendak ada ditangan Dia. Dialah dzat yang mana memegang kendali atas ubun-ubun kita, Dialah Dzat Yang Adil keputusan dan qadhanya. Manusia hendaknya juga memohon untuk menjadikan Al Qur’an penentram hati, peleyap duka serta kesedihan dan pemberi cahaya di dada. Hal ini karna Allah adalah Tuhan yang menggunakan nama sempurna dalam setiap namaNya.
3. Doa Agar Hati Tenang Dalam Menjalani Hidup yang ketiga
Selanjutnya adalah doa yang dimaksudkan untuk meminta perlindungan terhadap sesuatu yang menyebabkan timbulnya rasa sedih dan gundah pada diri kita, serta kemalasan yang tak jarang menghampiri kehidupan kita sehari-hari. Selain itu juga untuk menghindari hutang yang seringkali menjadi beban, rasa takut terhadap sesuatu serta penindasan yang dilakukan oleh orang lain terhadap diri Anda. Di bawah ini adalah doa yang dimaksud dan menurut riwayat juga sering dibaca oleh Rasulullah (Lihat kitab Fathul Bari):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ
الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Allohumma Inni Audzubika Minalhamma Walkhujni, Wal A’ri, Wakasal, Walbujli Walhubni, Waqodaini, Walgobatirrojali”
“Inti dari doa ini adalah memohon perlindungan dari Allah dari segala sesuatu yang nmembuat hati sedih, susah, malas, lemah dan penakut, terlilit hutan dan dari penindasan orang-orang yang berkuasa. [HR. Al-Bukhari 7/158]
4. Doa Mohon Diberi Ketenangan Hati Supaya Mendapat Rahmat Yang Ke Empat
Berikutnya adalah doa seperti yang meminta kepada Tuhan supaya selalu mendapatkan rahmat serta pertolongan yang memang dibutuhkan oleh setiap orang. Doa tersebut seperti yang tertulis di bawah ini:
اَللَّهُمَّ رَحْــمَتَكَ أَرجُو فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَــفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ , وَاَصْلِحْ لِي شَأْني كُلَّهُ , لَا إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
Allahumma Rahmatika Arjuu Falaa Takilmi Ilaa Nafsi Tharfata ‘Ainin Waaslih Lii Sya’nii Kullahu Laa Ilaaha Illa Anta…
“Doa ini mengharapkan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa. Hendaknya orang memohonagar Allah jngan membiarkan Allah tak menolongnya walaupun dalam kedipan mata. Manusia juga memohon perlindungan Allah untuk memperbaiki segala urusan dunia, karena Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia.” [HR. Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42].
5. Doa Ketenangan Hati, Jiwa dan Pikiran yang kelima.
Di saat yang susah Rasulullah juga mengucapkan doa di bawah ini seperti yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah:
“Allahumma Inni As Aluka Rahmatan Min’indika Tahdi Bihaa Qalbii Watajma’u Bihaa Syamli Wataruddu Bihal Fitnata Anni”
“Inti dari doa ini adalah memohon rahmat yang diberikan Allah, dan jangan sampai Allah menyerahkan segala urusan dunia meski hanya dengan sekejap mata sekalipun. Dalam doa ini juga tersirat harapan agar Allah memperbaiki segala urusannya di dunia. Karena tidak ada Tuhan yang bisa disembah melainkan Allah Yang Maha Esa”.  [HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban]
Berakhir sudah ulasan yang dapat disampaikan kepada Anda demi menjawab pertanyaan yang ada di dalam pikiran Anda seputar cara untuk mengatasi perasaan gundah. Sebelum mengucapkan doa yang tertulis di dalam artikel ini ambillah wudhu; terlebih dahulu agar doa Anda menjadi lebih makbul. Pada dasarnya doa tidak dapat berdiri sendiri. Karena Doa Ketenangan Jiwa dan Pikiran Dalam Islam juga perlu diikuti dengan perubahan diri kearah yang lebih baik. Demikianlah tulisan ini, semoga Anda bisa mengambil hikmah yang tertuang di dalamnya. Terima kasih kepada para pembaca budiman yang sudah berkunjung ke artikel ini dan selamat berusaha.
Copyright


MENGENAL ALLAH LEWAT AKAL



Lihatlah sekeliling anda dari tempat duduk anda. Akan anda dapati bahwa segala sesuatu di ruang ini adalah "buatan": dindingnya,a sendiri. pelapisnya, atapnya, kursi tempat duduk anda, gelas di atas meja dan pernak-pernik tak terhitung lainnya. Tidak ada satu pun yang berada di ruang anda dengan kehendak merekGulungan tikar sederhana pun dibuat oleh seseorang: mereka tidak muncul dengan spontan atau secara kebetulan.
Orang yang hendak membaca buku mengetahui bahwa buku ini ditulis oleh pengarangnya karena alasan tertentu. Tak pernah terpikir olehnya bahwa barangkali buku ini muncul secara kebetulan. Begitu pula, orang yang memandang suatu pahatan tidak sangsi sama sekali bahwa pahatan ini dibuat oleh seorang pemahat. Hal ini bukan mengenai karya seni saja: batu bata yang bertumpukan pun pasti dikira oleh siapa saja bahwa tumpukan batu bata sedemikian itu disusun oleh seseorang dengan rencana tertentu. Karena itu, di mana saja yang terdapat suatu keteraturan-entah besar entah kecil-pasti ada penyusun dan pelindung keteraturan ini. Jika pada suatu hari seseorang berkata dan menyatakan bahwa besi mentah dan batu bara bersama-sama membentuk baja secara kebetulan, yang kemudian membentuk Menara Eiffel secara lagi-lagi kebetulan, tidakkah ia dan orang yang mempercayainya akan dianggap gila?
Pernyataan teori evolusi, suatu metode unik penyangkal keberadaan Allah, tidak berbeda daripada ini. Menurut teori ini, molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
Bagaimana mungkin mengira bahwa keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya. Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya?
Ia tidak mungkin zat material yang hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta dari sana. Pencipta Yang Mahakuasa ialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
Meskipun kebanyakan orang mempunyai kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya, penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah. Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya, pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari keberadaan Allah.
Tubuh manusia menyediakan begitu banyak bukti yang mungkin tidak terdapat di berjilid-jilid ensiklopedi. Bahkan dengan berpikir beberapa menit saja mengenai itu semua sudah memadai untuk memahami keberadaan Allah. Tatanan yang ada ini dilindungi dan dipelihara oleh Dia.
Tubuh manusia bukan satu-satunya bahan pemikiran. Kehidupan itu ada di setiap milimeter bidang di bumi ini, entah bisa diamati oleh manusia entah tidak. Dunia ini mengandung begitu banyak makhluk hidup, dari organisme uniseluler hingga tanaman, dari serangga hingga binatang laut, dan dari burung hingga manusia. Jika anda menjumput segenggam tanah dan memandangnya, di sini pun anda bisa menemukan banyak makhluk hidup dengan karakteristik yang berlainan. Di kulit anda pun, terdapat banyak makhluk hidup yang namanya tidak anda kenal. Di isi perut semua makhluk hidup terdapat jutaan bakteri atau organisme uniseluler yang membantu pencernaan. Populasi hewan di dunia ini jauh lebih banyak daripada populasi manusia.
Jika kita juga mempertimbangkan dunia flora, kita lihat bahwa tidak ada noktah tunggal di bumi ini yang tidak mengandung kehidupan. Semua makhluk ini yang tertebar di suatu bidang seluas lebih daripada jutaan kilometer persegi itu mempunyai sistem tubuh yang berlainan, kehidupan yang berbeda, dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Pernyataan bahwa semua ini muncul secara kebetulan tanpa maksud atau pun tujuan itu gila-gilaan. Tidak ada makhluk hidup yang muncul melalui kehendak atau upaya mereka sendiri. Tidak ada peristiwa kebetulan yang bisa menghasilkan sistem-sistem yang serumit itu.
Semua bukti ini mengarahkan kita ke suatu kesimpulan bahwa alam semesta berjalan dengan "kesadaran" (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini.
 Keberadaan dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya.
Sekalipun demikian, mereka masih mengingkarinya "secara lalim dan angkuh, kendati hati sanubari mereka meyakininya" sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an. (Surat an-Naml, 14)
Buku ini ditulis untuk menunjukkan kenyataan yang diingkari oleh sebagian orang ini karena keberadaannya asing menurut perhatian mereka, dan juga untuk membongkar penipuan dan penyimpulan jahiliyah yang menjadi sandaran mereka. Karena inilah maka banyak persoalan yang ditelaah di buku ini.
Orang yang membaca buku ini akan segera lebih mengamati bukti-bukti keberadaan Allah yang tak terbantah dan menyaksikan bahwa keberadaan Allah mencakup segala benda: "akal" mengetahui hal ini. Sebagaimana Ia menciptakan tatanan yang menyeluruh ini, Dialah yang juga memeliharanya dengan tak henti-hentinya.


MAKALAH USHUL FIQIH IJMA’ DAN QIYAS

OLEH



RIYAN ISROR







JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah.Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah yang disebut pula sebagai metode dalam menentukan hukum syar’i amali.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan Ijma sebagai metode penggalian hukum umat islam. Bahasan dalam makalah ini berkaitan dengan pengertian, syarat dan rukun, kehujjahan,dan macam-macam Ijma dan Qiyas.
B.     Rumusan masalah
1.      Apakah pengertian ijma’ dan qiyas ?
2.      Apakah syarat dan rukun ijma’ dan qiyas ?
3.      Apa saja macam-macam ijma’ dan qiyas ?
C.    Tujuan
1.      Untuk menjelaskan pengertian ijma’ dan qiyas
2.      Untuk menjelaskan Syarat dan rukun ijma’ dan qiyas
3.      Untuk menjelaskan macam-macam ijma’ dan qiyas




BAB II
PEMBAHASAN
I.     Pengertian, Syarat, Rukun, Macam Ijma’
A.    Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu:
1.      Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:
Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
2.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).[1]
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan beberapa definisi, yaitu
            Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat islam.
            Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an yang menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat, Dengan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum syariat.[2]




B.     Syarat-syarat dan Rukun Ijma’
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orang-orang yang mengerti bagaimana mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan mereka yang berupa perintah dan larangan tidak perlu diikuti.
2.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun.Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.
3.      Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya.
4.      Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
5.      Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat bulat.
6.      Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat.[3]
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.       Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an
5.      Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis Rasulullah SAW.[4]

D.    Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).[5]
Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.[6]
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini.Menurut Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum.Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.[7]
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum.Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya.Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.[8]

II.  Pengertian, Syarat, Rukun, Macam Qiyas
A.    Pengertian Qiyas
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.[10]


B.     Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun Qiyas, yaitu:
1.      Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2.      Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.      Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.      'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.[11]

Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
a.       Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada pokoknya
b.      Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’
c.       Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum
2.      Syarat-syarat fara’ (cabang)
a.       Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok, misalnya mengqiayaskan wudlu dengan tayamun
b.      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c.       Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok
d.      Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok




3.      Syarat-syarat illat
a.       Illat harus tetap berlaku
b.      Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas
c.       Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang didahulukan
d.      Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu[12]

C.    Macam-Macam Qiyas
a.       Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b.      Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam mulhaqbih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan harta
c.       Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d.      Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan mulhaq.Misanya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.[13]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian Ijma’ adalah kesepakatan dari umat Islam pada hukum Syar’i, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam.meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.















DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, 2001.Bandung: Pustaka Setia,
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1.Cet I, 2005.Jakarta: Kencana,
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, 1997.Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh.2007. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Djazuli , H.A dan Aen Nurol, Ushul fiqih metodologi hukum islam,, 2000, Jakarta :PT Raja grafindo persada.




















[1] H.A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 109.
[2]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 145.
[3] H.A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 112.
[4]H.A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam,Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 113
[5]Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005,  h. 129.
[6]Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h.135
[7] H.A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 115.
[8]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 145.
[9]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 161.
[10]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.
[11]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 165.
[12] H.A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakrta: PT Raja grafindo persada, 2000, hlm.141.
[13]Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 99-101.