Minggu, 11 Desember 2016

MAKALAH AL QUR’AN TA’WIL AL QUR’AN


OLEH
KELOMPOK 
 RIYAN ISROR


JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
            Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah SWT. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian Al- Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
            Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.



B.     Rumusan masalah
a.       Apakah penegrtian Ta’wil ?
b.      Apa syarat ta’wil ?
c.       Apa bentuk-bentuk  ta’wil ?
d.      Apa saja ruang lingkup ta’wil ?
C.    Tujuan
a.       Untuk membahas pengertian ta’wil
b.      Untuk membahas syarat ta’wil
c.       Untuk membahas bentk-bentuk ta’wil
d.      Untuk membahas ruang lingkup ta’wil























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’wil.
Secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع(kembali) dan العاقبة (akibat atau pahala),  Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang berarti   الرجوع   إليهويعتمدعليه(kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".
 Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".
Imam Haramain Al-Juwaini dalambukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil".
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir".
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal  dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini.Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir.Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.
Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir.Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
Tak’il menurut lughat adalah menerangkan, menjelaskan.Diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-takwilan.” Al-Qaththan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah “al-ruju’ ila Al-ashl“ (berarti kembali pada pokoknya). Sedangkan menurut Az-Zarqani berpendapat secara bahasa adalah sama dengan arti tafsir.
Adapun menurtut istilah, ada banyak para ahli yang berpendapat, antara lain:
a.      Menurut Al-Jurzani:
Memalingkan suatu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
b.      Menurut Definisi Lain:
Takwil ialah mengembalikan sesuatu ghayahnya (tujuanya), yakni menerangkan apa yang dimaksud.
c.       Menurut Ulama Salaf:
1.      “Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik bersesuai dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.” Definisi takwil seperti ini sama dengan definisi tafsir.
2.      “Hakikat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”

d.      Menurut Ulama Khalaf:
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat di simpulkan bahwa pengertian takwil secara istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyah, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikan dengan tafsir.

B.     Syarat-Syarat Ta’wil.
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah : 
1.      Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir (menunjukkan maksud) dan lafaz hash (menunjukan makna) serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2.      Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut. 
3.      Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti :
a.       Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dahlil itu.Contohnya: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang ditolak sama sekali.
b.      Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya.Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
c.       Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wil.
4.      Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil yang ada.


D.    Bentuk-Bentuk Ta'wil.
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya.Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam).Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
1.  Mengalihkan lafazh dari maknanya yangumum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيصالعموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah: 228).

Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu)  selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab:49).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2.  Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييدالمطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).

lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145,sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3.   Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS.An-Nisa': 2).

            Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).

Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa.Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.

E.     Ruang Lingkup Ta'wil
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya.Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah iqtidha',dan dalalah isharah. Maka nashdan zhahiradalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta'wil.
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah.Ta'wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.

























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
            Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
B. Saran
            Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini.Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.













DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. Bandung, Pustaka Setia. 2012.
         Isa Anshori Muta’al, Ulumul Qur’an. Palembang, IAIN Raden Fatah Press. 2003.
         Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.  Jakarta, Balai Pustaka.1984.
         Mohammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an. Damaskus, Al-Ghazali. 1390. 
       Zaky Muhyidin, Takwil.http://makalahzaki.blogspot.com/2011/06/tawil. html.
    




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar