OLEH
KELOMPOK
RIYAN
ISROR
|
|
JURUSAN
SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al
Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama,
diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat)
dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara
yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al
Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk
atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al
Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.dengan
media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga
keasliannya oleh Allah SWT. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan
kesucian Al- Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di
dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga
kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana .
Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan
selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan,
didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari
pihak yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al
Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat
dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
Kemampuan
setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama,
padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian
rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak
dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir
dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan
terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang
menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat
pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian
besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan
kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
B.
Rumusan masalah
a. Apakah penegrtian Ta’wil ?
b. Apa syarat ta’wil ?
c. Apa bentuk-bentuk ta’wil ?
d. Apa saja ruang lingkup ta’wil ?
C.
Tujuan
a. Untuk membahas pengertian ta’wil
b. Untuk membahas syarat ta’wil
c. Untuk membahas bentk-bentuk ta’wil
d. Untuk membahas ruang lingkup ta’wil
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’wil.
Secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ أَوْلٌ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع(kembali) dan العاقبة (akibat atau
pahala), Sedangkan isim makan dan
zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat
kembali, Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang
berarti الرجوع إليهويعتمدعليه(kembali dan
bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut,
Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan
dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama,
ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil
adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena
ada dalil.
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat,
menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara
istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain
(batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah".
Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin
Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh
ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna
yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".
Imam Haramain Al-Juwaini dalambukunya Al-Burhan fi Ushul
Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna
zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil".
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi
Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah)
tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan
didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan
oleh lafazh zhahir".
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang
ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna zhahirnya
berdasarkan dalil yang menguatkannya".
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa
At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat
bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat)
diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir
At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil
dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil
ayat ini.Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir.Sedangkan
ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan
ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.
Jadi, ta'wil
dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir.Kemudian pada masa
khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh
yang kuat(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan
berdasarkan dalil.
Tak’il menurut lughat adalah menerangkan,
menjelaskan.Diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-takwilan.” Al-Qaththan
dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah “al-ruju’
ila Al-ashl“ (berarti kembali pada pokoknya). Sedangkan menurut Az-Zarqani
berpendapat secara bahasa adalah sama dengan arti tafsir.
Adapun menurtut istilah, ada banyak para ahli yang
berpendapat, antara lain:
a. Menurut Al-Jurzani:
Memalingkan suatu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna
yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan
ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
b. Menurut Definisi Lain:
Takwil ialah mengembalikan sesuatu ghayahnya (tujuanya),
yakni menerangkan apa yang dimaksud.
c.
Menurut
Ulama Salaf:
1. “Menafsirkan dan menjelaskan makna
suatu ungkapan, baik bersesuai dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.” Definisi takwil seperti ini sama
dengan definisi tafsir.
2. “Hakikat sebenarnya yang dikehendaki
suatu ungkapan.”
d. Menurut Ulama Khalaf:
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih pada makna
yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat di simpulkan
bahwa pengertian takwil secara istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau
maksud sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna
lahiriyah, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikan dengan
tafsir.
B. Syarat-Syarat Ta’wil.
Adapun
syarat-syarat ta’wil adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil
seperti lafaz zhabir (menunjukkan maksud) dan lafaz hash (menunjukan makna)
serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan
untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan
dapat diartikan untuk di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada
makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk
ta’wil seperti :
a.
Bentuk
lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri,
atau berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dahlil itu.Contohnya:
suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang
ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang
lebih kuat dilalah-nya.Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan
untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
c.
Lafaz itu
merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang
mufassar.
Dalam semua bentuk itu berlakulah
ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran
kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil yang ada.
D.
Bentuk-Bentuk Ta'wil.
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling
mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok
disiplin ilmu lainnya.Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan
hukum (istimbath al-ahkam).Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman
kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh
yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang
hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi
makna yang sunnah.
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yangumum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum
(تخصيصالعموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah: 228).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita
yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu)
selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini
berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse,
atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang
lain dalam QS.Al-Ahzab:49
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
(QS.Al-Ahzab:49).
Ayat diatas menerangkan bahwa wanita
yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam
bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييدالمطلق). Seperti
firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).
lafazh mutlak (muthlaq)
kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan)
dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145,sehingga yang diharamkan adalah
darah yang mengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2
Artinya: Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar. (QS.An-Nisa': 2).
Ayat
diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini
bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).
Ayat diatas menerangkan untuk
menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan
dewasa.Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh
yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh
orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah
baligh dan dewasa.
4. Mengalihkan
lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti
perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna
wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang
mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.
E.
Ruang Lingkup Ta'wil
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua
macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat
adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya.Sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan
arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat
merupakan objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam
Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq
memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah iqtidha',dan
dalalah isharah. Maka nashdan zhahiradalah bagian dari
pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan
dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta'wil.
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul
menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil);
Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam
nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah.Ta'wil dalam ruang
lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.Kedua,
dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan
masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla,
bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga
huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur`an
sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan
al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan
pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan
yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an
tersebut tepat sasarannya.
Terjemah,
tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an
yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah
arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir
lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas
dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat
tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT
tersebut.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun
tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai.
Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai
penunjang pada makalah ini.Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar, Ulum Al-quran. Bandung, Pustaka Setia. 2012.
Isa
Anshori Muta’al, Ulumul Qur’an. Palembang, IAIN Raden Fatah Press. 2003.
Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.1984.
Mohammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an. Damaskus, Al-Ghazali.
1390.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar