OLEH
RIYAN
ISROR
| |
JURUSAN
SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pada masa
Rasulullah Saw., permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan
pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila
ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal
tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi,
setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang
muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam
adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.Dua sumber tersebut disebut juga
dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama
kepada hukum Allah.Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah
yang disebut pula sebagai metode dalam menentukan hukum syar’i amali.
Dalam makalah ini,
penulis mencoba menguraikan Ijma sebagai metode penggalian hukum umat islam.
Bahasan dalam makalah ini berkaitan dengan pengertian, syarat dan rukun,
kehujjahan,dan macam-macam Ijma dan
Qiyas.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah
pengertian ijma’ dan qiyas ?
2.
Apakah
syarat dan rukun ijma’ dan qiyas ?
3.
Apa
saja macam-macam ijma’ dan qiyas ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan pengertian ijma’ dan qiyas
2.
Untuk
menjelaskan Syarat dan rukun ijma’ dan qiyas
3.
Untuk
menjelaskan macam-macam ijma’ dan qiyas
BAB
II
PEMBAHASAN
I. Pengertian, Syarat, Rukun, Macam Ijma’
A.
Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam,
yaitu:
1.
Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus,
Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:
Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
2.
Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah
SWT dalam surah Yunus ayat 71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).[1]
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan
mengemukakan beberapa definisi, yaitu
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan
batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat
islam.
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan,
dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim, berlaku dalam suatu masa
tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena
selama Nabi masih hidup, al-Qur’an yang menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an
kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum
syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalam setiap
masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti
kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat, Dengan demikian pemakalah
menyimpulkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa,
sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum syariat.[2]
B. Syarat-syarat dan Rukun
Ijma’
Dari beberapa definisi
di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’.
Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih,
meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab,
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang
hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka
tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu
lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah
termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “
Karena orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orang-orang yang mengerti
bagaimana mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan mereka yang
berupa perintah dan larangan tidak perlu diikuti.
2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara
dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang
mujtahid pun.Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan
pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak
bisa dikatakan Ijma’.
3. Hendaklah kesepakatan
itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah
fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh karena itu, tidak diisyaratkan
bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya.
4. Kesepakatan para
mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Oleh karena
itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW
masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’
syar’i.
5. Kesepakatan itu
hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu
waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat, di
mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi
berakhir dengan diperolehnya satu pendapat bulat.
6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar
sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan
pendapat.[3]
Jika semua persyaratan
di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali,
seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’
adalah sebagai berikut:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut adalah
seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2. Mujtahid yang terlibat
dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu
diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang
disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya
secara rinci dalam Al-Qur’an
D. Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim
Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas)
dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian
ulama).[5]
Ijma’ Sharih adalah
yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan
pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui
ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam
bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan
ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum
tersebut.[6]
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah
bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid
lainnya hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh
berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini.Menurut Imam Syafii
dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan
hukum.Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan
setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu
telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih
senior.[7]
Sedangkan menurut
Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber
hukum.Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai
persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus
tegas menentangnya.Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu
menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan
Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan
telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat
perorangan.[8]
II. Pengertian, Syarat, Rukun, Macam Qiyas
A. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalahukuran atau
mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain[9]
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam
hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga
bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung
dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa
pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika
tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad.
Dan ijtihad itu adalah qiyas.[10]
B.
Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun
Qiyas, yaitu:
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang
menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih
(tempat membandingkan);
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar.
Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau
mahmul (yang dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan
'illatnya; dan
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang
dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.[11]
Di atas telah diterangkan
rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
a.
Hukum yang hendak dipilihkan untuk
cabang masih ada pokoknya
b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’
c.
Hukum pokok tidak merupakan huku
pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum
2. Syarat-syarat fara’ (cabang)
a.
Hukum cabang tidak lebih dulu ada
daripada hukum pokok, misalnya mengqiayaskan wudlu dengan tayamun
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut
ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c.
Illat yang terdapat pada cabang
harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
3. Syarat-syarat illat
a.
Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapatnya illat tanpa mengganggu
sesuatu yang lain. sebab adanya illat
tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas
c.
Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash
yang didahulukan
C. Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih
utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq
bih), misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b. Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya
mewajibkan adanya hukum yang terdapat pada mulhaq
nya sama dengan illat hukum yang
terdapat dalam mulhaqbih. Misalnya
merusak harta benda anak yatim mempunyai illat
hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan
harta
c. Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat
yang ada pada mulhaq menunjukkan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik
anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat,
dengan illat bahwa seluruhnya adalah
harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d. Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya
dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi
diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan
mulhaq.Misanya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Ijma’ adalah
kesepakatan dari umat Islam pada hukum Syar’i, dalam hal ini adalah para
mujtahid dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum
syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus
berupa kesepakatan para mujtahid Islam.meskipun negara dan kebangsaan mereka
berbeda, yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan harus
terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah
An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan,
ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan
yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama.
Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan
persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik
persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku
sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, 2001.Bandung:
Pustaka Setia,
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed.
1.Cet I, 2005.Jakarta: Kencana,
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1,
Cet 1, 1997.Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh.2007.
Jakarta : Pustaka Firdaus.
Djazuli , H.A dan Aen Nurol, Ushul fiqih metodologi hukum islam,,
2000, Jakarta :PT Raja grafindo persada.
[1] H.A Djazuli dan Nurol
Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakarta:
PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 109.
[2]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.
145.
[3] H.A Djazuli dan Nurol
Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, PT
Raja grafindo persada, 2000, hlm. 112.
[4]H.A Djazuli dan Nurol
Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam,Jakarta:
PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 113
[7] H.A Djazuli dan Nurol
Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakarta:
PT Raja grafindo persada, 2000, hlm. 115.
[8]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.
145.
[9]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.
161.
[11]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqih, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.
165.
[12] H.A Djazuli dan Nurol
Aen, Ushul fiqih metodologi hukum islam, Jakrta:
PT Raja grafindo persada, 2000, hlm.141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar